Sleman – BINTANGJAGATNEWS. Sabtu, 14 Desember 2024. Mantan Bupati Sleman, Sri Purnomo, akhirnya memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait dugaan korupsi dana hibah pariwisata 2020. Pemeriksaan ini merupakan bagian dari penyidikan yang dimulai pada April 2023 dan berkaitan dengan pengelolaan dana hibah yang disalurkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) selama pandemi COVID-19.

Sri Purnomo, yang menjabat sebagai Bupati Sleman selama dua periode, yakni 2010-2015 dan 2016-2021, awalnya dijadwalkan untuk diperiksa pada pekan lalu. Namun, mantan orang nomor satu di Kabupaten Sleman ini meminta penundaan pemeriksaan karena alasan urusan keluarga. Kasi Intel Kejari Sleman, Murti Ari Wibowo, menyampaikan bahwa Sri Purnomo baru memenuhi panggilan pada Rabu pagi, 11 Desember 2024, sekitar pukul 09.02 WIB.

Kondisi Terkini Proses Penyidikan

Menurut Murti Ari Wibowo, pemeriksaan terhadap Sri Purnomo ini merupakan bagian dari rangkaian penyidikan yang lebih besar. Kejari Sleman telah melakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 200 orang saksi, yang meliputi penerima dana hibah, pelaku wisata, hingga tokoh-tokoh dari partai politik yang terkait dengan aliran dana tersebut. Namun, meskipun proses pemeriksaan telah berjalan lama, hingga saat ini belum ada penetapan tersangka dalam kasus ini.

“Pemeriksaan hari ini merupakan bagian dari proses penyidikan yang terus berjalan. Kami telah memeriksa lebih dari 200 saksi, dan ini merupakan tahap yang sangat penting untuk mengungkapkan seluruh rangkaian dugaan tindak pidana yang melibatkan dana hibah tersebut,” ujar Murti Ari Wibowo.

Rincian Dana Hibah yang Diduga Disalahgunakan

Dana hibah pariwisata yang disalurkan oleh Kemenparekraf pada 2020 memiliki total anggaran mencapai Rp 68,5 miliar, yang dialokasikan untuk mendukung sektor pariwisata yang terimbas oleh pandemi COVID-19. Sebesar Rp 49,7 miliar dari dana tersebut ditransfer ke kas daerah Kabupaten Sleman dalam dua tahap, yang kemudian disalurkan kepada berbagai pihak terkait. Dana ini dimaksudkan untuk membantu pelaku pariwisata, seperti desa wisata, hotel, dan restoran, agar mereka dapat bertahan dalam masa sulit.

Namun, dalam pelaksanaannya, diduga terjadi penyalahgunaan dana yang berujung pada kerugian negara sebesar Rp 10 miliar, berdasarkan laporan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Penyalahgunaan dana tersebut melibatkan sejumlah penerima dana yang seharusnya memperoleh hibah untuk mendukung program Clean, Health, Safety, and Environment (CHSE) serta revitalisasi sarana prasarana pariwisata, namun justru digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan awal. BPKP mencatat bahwa beberapa penerima dana hibah, baik individu, kelompok desa wisata, maupun pelaku usaha pariwisata, tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban mereka dalam penggunaan dana tersebut, yang akhirnya merugikan keuangan negara.

Aliran Dana Hibah dan Dugaan Penyalahgunaan

Dalam pelaksanaan penyaluran dana hibah, terdapat beberapa aliran dana yang terindikasi tidak sesuai dengan tujuan semula, antara lain:

  1. Rp 17,1 miliar disalurkan kepada 244 kelompok desa wisata dan individu yang terlibat dalam sektor pariwisata.
  2. Rp 27,5 miliar dialokasikan untuk 92 hotel dan 45 restoran guna mendukung implementasi program CHSE.
  3. Rp 177,9 juta digunakan untuk mendukung revitalisasi sarana serta penerapan protokol kesehatan di 40 usaha jasa pariwisata.
  4. Rp 921,3 juta dipergunakan untuk biaya operasional dan pengawasan internal, yang ditujukan untuk review aparatur pengawas pemerintah.

Namun, dana yang teralokasi untuk mendukung sektor-sektor ini diduga tidak sepenuhnya digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan sebagian besar aliran dana tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Penyelidikan Kejari Sleman dan Potensi Tindak Pidana Korupsi

Kasus ini menjadi semakin menarik karena adanya dugaan bahwa Sri Purnomo, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan dana hibah pada masa pemerintahannya, memiliki pengetahuan dan keterlibatan dalam proses penyaluran dana tersebut. Dengan statusnya sebagai mantan bupati, ia dianggap memiliki kewenangan yang cukup besar dalam pengelolaan anggaran tersebut, sehingga menjadikannya sebagai saksi yang sangat relevan dalam penyidikan ini.

Meskipun pemeriksaan terhadap Sri Purnomo dan sejumlah saksi lainnya terus berlangsung, Kejari Sleman memastikan akan mengusut tuntas dugaan korupsi dana hibah ini dengan serius. Jika terbukti ada tindak pidana, maka para pihak yang terlibat dapat dijerat dengan Pasal Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang merugikan negara.

Kesimpulan:

  • Sri Purnomo, mantan Bupati Sleman, menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam penyidikan dugaan korupsi dana hibah pariwisata 2020.
  • Kejari Sleman telah memeriksa lebih dari 200 orang saksi dan mengungkap adanya kerugian negara sebesar Rp 10 miliar akibat penyalahgunaan dana hibah.
  • Proses penyidikan masih berlangsung, dan hingga saat ini belum ada penetapan tersangka dalam kasus ini.
  • Dugaan penyalahgunaan dana hibah ini mencakup sejumlah penerima dana yang tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diberikan, serta potensi keterlibatan pihak-pihak terkait, termasuk mantan bupati.

Kejari Sleman berkomitmen untuk mengungkap seluruh aspek penyalahgunaan dana hibah pariwisata ini secara transparan, dan memastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. (Red)

Please follow and like us:
Pin Share