Kab. Sukabumi – BINTANGJAGATNEWS. Minggu 27 Oktober 2024. Isu pengadaan alat kesehatan dan fasilitas pendukung pelayanan kesehatan di Kabupaten Sukabumi mencuat kembali, mengingat anggaran sebesar Rp 11.388.700.700 yang dialokasikan untuk 641 unit alat kesehatan di 58 Puskesmas. Masyarakat mulai mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana tersebut.
Selain itu, pengadaan prasarana fasilitas kesehatan juga memakan anggaran sebesar Rp 714.020.000 untuk 458 unit prasarana yang sama. Tak hanya itu, dana Rp 7.860.998.000 dianggarkan untuk pembelian bahan habis pakai, yang juga tersebar di 58 Puskesmas.
Laporan mengenai pengelolaan pelayanan kesehatan gizi masyarakat menunjukkan realisasi anggaran mencapai Rp 27.436.681.500. Meski terdapat 130 dokumen terkait pengelolaan ini, awak media menemukan bahwa pelaksanaannya tidak sesuai harapan, dengan dana yang terserap hanya untuk pengadaan antropometri.
Kekhawatiran akan penyimpangan dalam pengelolaan anggaran ini semakin meningkat, dan masyarakat mendesak agar pihak berwenang melakukan audit dan investigasi mendalam. Mereka berharap agar tidak ada pihak yang terlepas dari tanggung jawab atas penggunaan anggaran publik demi kesehatan masyarakat.
Anggaran untuk pengadaan alat kesehatan dan bahan habis pakai di Kabupaten Sukabumi yang bersumber dari APBD dan DAK tahun 2023 kini menjadi sorotan publik. Seorang pegawai Puskesmas berinisial A mengungkapkan dugaan kolusi dalam proses pengadaan ini kepada awak media SeputarJagat News.
Menurut A, semua alat kesehatan dan bahan habis pakai yang dipasok ke Puskesmas berasal dari seorang pemasok berinisial Ipey, yang diduga memiliki kedekatan dengan Bupati Sukabumi, MH. “Ipey memasukkan barang habis pakai yang tidak sesuai standar dan berharga tinggi. Ketika Kapuskesmas menolak, dia langsung menghubungi Bupati. Setelah berbicara dengan Bupati, Kapuskesmas terpaksa menerima barang tersebut karena diancam dengan risiko jabatan,” jelas A. Ia menambahkan bahwa meskipun bahan habis pakai tersebut berada di bawah standar, pihak Puskesmas harus tetap membayarnya dengan harga yang mahal.
Lebih lanjut, A juga mengungkapkan bahwa Kepala Dinas Kesehatan, AS, selalu menginstruksikan agar semua pengadaan dilakukan melalui satu pintu. “Dalam setiap rapat, dia berpesan bahwa semua pengadaan, termasuk obat yang dimasukkan oleh seorang berinisial Sn, harus diterima meskipun hampir semuanya mendekati atau sudah kadaluarsa,” ujarnya.
A merasa beruntung karena saat ini izin edar untuk produk yang dimasukkan oleh Sn telah dicabut oleh BPOM, yang menunjukkan adanya tindakan tegas terhadap praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standar.
Kekhawatiran masyarakat semakin meningkat terhadap pengelolaan anggaran dan kualitas layanan kesehatan di daerah ini. Mereka mendesak agar pihak berwenang melakukan investigasi menyeluruh guna memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alat kesehatan demi keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Seorang aktivis dan pembina Diaga ERA mengungkapkan dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan anggaran pelayanan kesehatan gizi masyarakat yang mencapai Rp 27 miliar. Anggaran tersebut, menurutnya, digunakan untuk pengadaan antropometri dengan melibatkan sejumlah oknum, termasuk Bupati Sukabumi, MH.
Dalam penjelasannya kepada awak media, aktivis tersebut menyebutkan bahwa Bupati diduga terlibat dalam permufakatan jahat bersama oknum dari Aparat Penegak Hukum (APH) dan seorang perantara berinisial F alias Ipey. Ipey dituduh berperan dalam memenangkan salah satu perusahaan alat kesehatan secara tidak sah melalui sistem e-katalog dalam acara PDAM Tirta Yasa Mandiri di Yogyakarta, di mana Plt Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) juga diundang.
“Setelah kembali dari Yogyakarta, HAR (Plt Kadiskes) mengungkapkan situasi tersebut kepada saya dan menyatakan penolakannya untuk terlibat. Dia akhirnya memutuskan mundur dari jabatannya,” ungkap aktivis tersebut.
Lebih lanjut, aktivis ini menambahkan bahwa setelah pengunduran HAR, AS menawarkan diri untuk menjabat sebagai PLT Kadiskes, dan diduga terjadi kesepakatan antara Bupati dan AS untuk meloloskan pengadaan antropometri tersebut.
“Saya mengetahui hal ini sebelum menghadap Bupati, ketika AS berkumpul dengan kami di sebuah warung dekat Hotel SBH, dihadiri oleh dua anggota DPRD. Setelah menghadap Bupati, AS kembali ke warung dan anggota DPRD tersebut menyampaikan kepada saya dengan mengatakan, ‘Mang, Bupati minta 1 M,’” cetusnya, merujuk pada permintaan suap dalam bahasa Sunda.
Meskipun fakta bahwa AS kini menjabat sebagai Kadiskes dan melaksanakan pengadaan antropometri tersebut, aktivis ini mengungkapkan bahwa informasi yang diterimanya menyebutkan adanya komitmen fee sebesar 35%.
Seorang penyedia alat kesehatan berinisial U mengungkapkan kekecewaannya terkait proses pengadaan alat kesehatan di RSUD Pelabuhan Ratu tahun 2024. Dalam wawancara eksklusif dengan Seputar Jagat News di kediamannya, U menceritakan upayanya untuk berpartisipasi dalam pengadaan alat kesehatan senilai Rp 34 miliar melalui E-Katalog, namun terhalang oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, Agus Sanusi, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Yayat Suhayat.
Menurut U, Agus Sanusi dan Yayat melarangnya untuk terlibat dengan alasan bahwa anggaran tersebut telah dibagi-bagi. “Rp 25 miliar dialokasikan untuk Bupati melalui Ipey, yang kini menjabat anggota DPRD Komisi IV yang membidangi kesehatan. Sebanyak Rp 5 miliar disisihkan sebagai fee untuk menutupi kerugian negara, sementara sisa anggaran Rp 10 miliar untuk kepentingan Dinas,” ungkap U, menirukan pernyataan Agus.
Lebih lanjut, pengadaan alat kesehatan ini mengalami masalah serius ketika barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati. Akibatnya, banyak dokter di RSUD Pelabuhan Ratu menolak menerima alat-alat tersebut. Hingga kini, informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa pembayaran untuk alat kesehatan tersebut belum dilakukan, meskipun distributor telah bolak-balik menagih pembayaran.
Sementara itu, seorang pengamat hukum yang meminta identitasnya dirahasiakan menilai bahwa situasi ini memerlukan perhatian serius dari aparat penegak hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Dugaan pelanggaran yang terjadi berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pada pasal 2, pasal 3, dan pasal 12 huruf i,” jelasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa jika masalah ini tidak segera diselesaikan, Kabupaten Sukabumi akan menghadapi preseden buruk dalam penegakan hukum. “Ini akan mencerminkan ketidakseriusan kita dalam menanggapi pidato Presiden Prabowo tentang penegakan hukum terhadap korupsi dan kebocoran anggaran,” tambahnya.
Dengan berbagai indikasi korupsi yang muncul, masyarakat mendesak agar pihak berwenang segera bertindak untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan anggaran publik. (DS)