Kabupaten Cianjur – BINTANGJAGATNEWS. Rabu, 25 Desember 2024. Polemik pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT. Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang melibatkan lahan milik warga di Kecamatan Takokak, Kabupaten Cianjur, semakin memanas. Warga yang terdampak pembebasan tanah tersebut merasa dirugikan karena mereka tidak menerima kompensasi yang adil dibandingkan dengan nilai yang dibayarkan oleh PT. KCIC kepada pihak yang membebaskan tanah tersebut.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang seharusnya menjadi tonggak kemajuan infrastruktur nasional, justru menimbulkan kecemasan dan keresahan bagi warga yang tanahnya terkena pembebasan. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim Seputar Jagat News, pembebasan lahan pengganti milik Perhutani yang digunakan oleh PT. KCIC di wilayah Kabupaten Bandung Barat, dipindahkan ke Kabupaten Cianjur karena terbatasnya lahan yang sesuai di Bandung Barat. Kepala Bidang Informasi Pendaftaran dan Pengaduan BPP TPM Kabupaten Cianjur, Mulyani Saleh (Dikutip dari ANTARA, 6 Oktober 2016) mengungkapkan bahwa lahan pengganti tersebut seluas 114,70 hektare yang dibebaskan pada sekitar tahun 2016 dan tersebar di Desa Simpang dan Desa Sukagalih, Kecamatan Takokak, Cianjur. Pembebasan ini dilakukan untuk mengganti kawasan hutan yang terkena dampak proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Namun, keputusan tersebut menimbulkan masalah besar di kalangan warga. Seorang warga yang tanahnya terkena pembebasan, yang hanya disebut dengan inisial EP (Selasa, 24 Desember 2024), mengungkapkan kepada tim Seputar Jagat News bahwa pembebasan tanah tersebut dilakukan dengan cara yang sangat tidak transparan. Menurut EP, pada sekitar tahun 2016, proses pembebasan tanah dilakukan oleh “biong-biong tanah” yang bekerja sama dengan aparat desa tanpa memberikan sosialisasi terlebih dahulu kepada warga mengenai tujuan dari pembebasan tanah mereka.
Proses Pembebasan Tanah yang Tidak Jelas
“Tanah kami diukur tanpa pemberitahuan jelas, tanpa negosiasi harga, dan tanpa adanya appraisal untuk menaksir nilai tanah tersebut,” ujar EP. Warga merasa bahwa proses pembebasan ini dilakukan secara sepihak oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan yang jelas, yang kemudian diserahkan kepada PT. KCIC tanpa ada dialog atau klarifikasi.
Lebih lanjut, EP menyebutkan bahwa daftar warga yang tanahnya terkena pembebasan oleh PT. KCIC adalah sebagai berikut:
- H. Hasbuloh (alm) – 24.800 m², Rp 6.835/m²
- OSID – 28.000 m², Rp 5.196/m²
- Sukanda – 26.400 m², Rp 3.182/m²
- Tanudin – 23.600 m², Rp 5.339/m²
- H. Fadilah – 14.000 m², Rp 5.447/m²
- Didin – 8.000 m², Rp 8.192/m²
- Suheri – 13.600 m², Rp 1.000/m²
- H. Yusuf Ansori – 4.800 m², Rp 3.500/m²
- Abun – 16.400 m², Rp 7.683/m²
- Abdul – 6.800 m², Rp 4.706/m²
- Fahrudin – 19.800 m², Rp 8.056/m²
- Ai Nurhasanah – 20.800 m², Rp 7.500/m²
- Abid – 11.675 m², Rp 5.857/m²
- Arifin – 2.000 m², Rp 8.550/m²
- Darim bin Mukri – 8.100 m², Rp 11.358/m²
- Ayan – 12.000 m², Rp 4.917/m²
- Apad – 8.000 m², Rp 5.000/m²
- Didi – 1.600 m², Rp 3.750/m²
- Deden – 2.000 m², Rp 15.000/m²
- Endas – 20.000 m², Rp 3.775/m²
- H. Jaeni – 39.730 m², Rp 8.936/m²
- Hamsikah – 2.500 m², Rp 4.200/m²
- Hilman – 6.800 m², Rp 7.353/m²
- Ining – 1.000 m², Rp 2.500/m²
- Iwan – 2.200 m², Rp 5.000/m²
- Jahrudin – 4.000 m², Rp 5.500/m²
- Muhtar – 4.800 m², Rp 2.500/m²
- Omen – 10.600 m², Rp 2.075/m²
- Rohiyah – 6.100 m², Rp 5.000/m²
- Pudin – 9.600 m², Rp 5.521/m²
- Sukandi – 1.400 m², Rp 5.357/m²
- Sukayat – 8.000 m², Rp 5.000/m²
- Supardi – 6.000 m², Rp 5.000/m²
- Sukardi – 4.400 m², Rp 7.500/m²
- Sahudin – 6.000 m², Rp 5.000/m²
- Murtala – 5.000 m², Rp 4.000/m²
- Yusuf – 12.500 m², Rp 3.300/m²
- Tijan – 9.500 m², Rp 4.250/m²
- Budi – 7.200 m², Rp 5.500/m²
- Yayah – 8.600 m², Rp 6.000/m²
- Husein – 5.800 m², Rp 4.700/m²
- Rohman – 6.200 m², Rp 3.900/m²
- Diah – 4.300 m², Rp 6.200/m²
- Kamal – 5.400 m², Rp 5.000/m²
- Medi – 7.800 m², Rp 4.500/m²
- Siti – 10.200 m², Rp 3.800/m²
- Aminah – 4.700 m², Rp 6.100/m²
- Farida – 6.600 m², Rp 5.600/m²
Total tanah yang dibebaskan dari 48 warga ini mencapai 498.005 m², dengan total pembayaran yang diterima oleh warga sebesar Rp 2.970.981.000.
Ketidakadilan yang Jomplang
Masalah yang muncul adalah perbedaan mencolok antara harga yang dibayarkan oleh PT. KCIC kepada pihak yang membebaskan tanah, yaitu sekitar Rp 130.000/m², dan harga yang diterima oleh warga yang hanya berkisar antara Rp 1.000 hingga Rp 6.000/m². Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan yang sangat jelas. “Harga yang kami terima jauh di bawah harga pasar. Bahkan ada yang hanya dibayar Rp 1.000 per meter, sementara PT. KCIC membayar Rp 130.000 per meter. Jomplang sekali perbedaannya,” ujar EP dengan nada kecewa.
EP dan warga lainnya merasa sangat dirugikan, dan akhirnya memutuskan untuk menunjuk kuasa hukum dari LBH LSM untuk menuntut ke PT. KCIC. Pada tahun 2019, mereka mendatangi kantor PT. KCIC di Kota Baru Parahyangan, Bandung, dan bertemu dengan Kepala Wilayah PT. KCIC Jabar, BOB. Namun, BOB tidak memberikan keputusan yang memadai, hanya mengarahkan mereka untuk melapor lebih lanjut kepada pimpinan PT. KCIC Pusat di Jakarta.
Upaya Warga yang Tidak Dihargai
Karena tidak ada tindak lanjut yang jelas dari pihak PT. KCIC, pada tahun 2020, warga bersama kuasa hukum mereka kembali mendatangi kantor PT. KCIC Pusat di Jakarta dan bertemu dengan pihak Humas, Febri. Namun, jawaban yang diberikan pun masih sama, yaitu masalah ini akan dibahas lebih lanjut dengan pimpinan PT. KCIC. Hingga kini, belum ada jawaban pasti dari PT. KCIC mengenai tuntutan warga.
Penyelesaian yang Belum Jelas
Warga juga mengungkapkan bahwa beberapa tanah mereka terkurung di tengah lahan milik Perhutani dan tidak dibebaskan. “Tanah kami yang belum dibebaskan berada di tengah lahan yang saat ini menjadi milik Perhutani. Kami tidak tahu bagaimana kelanjutannya,” ujar IS, salah seorang warga yang tanahnya juga terkena pembebasan. Is juga mengungkapkan bahwa tanah yang tidak dibeli oleh PT. KCIC dihapuskan SPPT-nya oleh Desa dan Bapenda Cianjur, sehingga mereka kesulitan melakukan pembayaran pajak tanah.
Warga kini memutuskan untuk kembali menggugat PT. KCIC melalui jalur hukum demi mendapatkan hak mereka atas kompensasi yang lebih adil. Namun, hingga berita ini diturunkan, baik PT. KCIC maupun Perhutani belum memberikan klarifikasi atau tanggapan resmi terkait masalah ini.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diharapkan menjadi simbol kemajuan infrastruktur kini menjadi sorotan, bukan hanya karena keterlambatan dan anggaran yang membengkak, tetapi juga karena proses pembebasan tanah yang penuh dengan ketidakadilan dan ketidaktransparanan. Warga Cianjur berharap agar kasus ini segera mendapat perhatian serius dan diselesaikan secara adil dan transparan.
Di lain pihak ketika Tim Media konfirmasi terkait hal tersebut kepada seorang berinisial YH (24/12/2024) Mantan Kepala Dusun Sukagalih yang ikut terlibat mengukur tanah warga, dan sampai saat ini masih ikut mengurusi tanah yang dibeli oleh PT. KCIC untuk ganti lahan Perhutani di Kab. Bandung Barat.
YH mengatakan “Dirinya pada tahun 2016 hanya sebatas memfasilitasi masyarakat yang ingin menjual tanahnya kepada Perusahaan yang ditunjuk PT. KCIC, dan masalah harganya variatif ada yang satu Patok (400 m) Rp2.000.000 dan ada yang Rp 4.000.000, dan yang baru dibebaskan kurang lebih 116 Ha semua sudah dibebaskan” ucap YH.
Kemudian ketika Tim media menanyakan, “Bagaimana dengan tanah masyarakat yang belum dibebaskan tetapi ada di tengah-tengah lahan yang saat ini menjadi milik Perhutani KPH Cianjur?”
Jawab YH “Saya tidak tau bagaimana penyelesaiannya, karena saya bekerja bagaimana perintah dari perusahaan yang di tunjuk PT. KCIC saja, dan Perusahaan tersebut juga tahu masih banyak tanah warga yang terkurung tapi saya tidak tau untuk penyelesaian lanjutannya” ujar YH.
Lebih lanjut YH menjelaskan bahwa tanah yang di bebaskan tersebut statusnya adalah tanah milik adat, dan ada yang sudah dibuatkan katanya oleh Notaris F dari Sukabumi, dan ada juga yang belum.
Ketika Tim media menanyakan “Apakah Pihak Perhutani mengetahui bahwa masih ada warga yang terkurung tanahnya di areal Perhutani tersebut?”
Jawab YH “Perhutani juga sudah mengetahui tentang hal tersebut dan perusahaan hanya membeli tanah kosong, pohon pinus dan lainnya ditanam oleh PT. KCIC sejak 5 tahun yang lalu dan masih tahap penyulaman namun tidak semua juga yang hidup,” jelasnya.
Sementara ketika Media melintasi dari areal tersebut pohon-pohon yang terlihat hanya disekeliling lahan tersebut, tetapi kedalamnya terlihat kosong dari kejauhan.
Tim media menanyakan juga “Berapa Fee per meter yang didapatkan oleh Kades Simpang dan Kades Sukagalih dan Timnya?”
YH mengatakan “Dirinya tidak mengetahui berapa besarannya tetapi ada yang dana yang diterima olehnya, dan YH juga mengungkapkan bahwa dia mendapatkan upah bulanan sebesar lebih kurang 3 jt per bulan selama 18 bulan.” pungkasnya.
Sampai berita ini diterbitkan, PT. KCIC dan KPH Perhutani Cianjur belum dapat dihubungi oleh Tim media terkait permasalahan ini. (Hsn/Ds)