Sukabumi – SJAGAT BATARA. Sabtu, 4 Mei 2024. Informasi yang dihimpun oleh awak media, Dalam Eksepsi: Menyatakan Eksepsi tergugat tidak diterima.

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, pembuktian dan putusan Pengadilan (hal. 811), Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan (deklarasi) yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para Pihak dengan barang objek yang disengketakan.

Dan juga berisi perintah atau penghukuman atau CONDEMNATOIR yang ditimpakan kepada pihak yang berperkara. Bunyi putusan : “Menyatakan Eksepsi tergugat tidak diterima”. Itu dijatuhkan apabila gugatan konvensi tidak terbukti, Eksepsi tidak berdasar dan rekomvensi tidak terbukti.

Apabila terhadap gugatan tergugat mengajukan eksepsi dan rekonvensi, berarti terdapat tiga pokok perkara yang harus diselesaikan dalam putusan yakni konvensi dan rekonvensi.

Apabila ternyata dari hasil pemeriksaan gugatan konvensi tidak terbukti, Eksepsi tidak mempunyai dasar dan gugatan rekonvensi juga tidak terbukti, Amar putusan yang harus dijatuhkan adalah:

Dalam konvensi:
a. Dalam eksepsi, TOLAK ATAU TIDAK DAPAT DITERIMA EKSEPSI.
b. Dalam pokok perkara, MENOLAK GUGATAN SELURUHNYA.

Ketika Awak Media meminta tanggapan Praktisi Hukum Efri Darlin M Dachi, SE,SH,MH. 4/5/2024. tentang hal tersebut, kata Dachi “Bahwa pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan: ‘Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di Pusat maupun di Daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku;’ Artinya PTUN sangatlah bijak,,hanya melihat dari segi adminstrasi saja Surat Perintah Bupati tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, dimana berdasarkan kajian, dari Inspektorat, dengan dasar LHP RIKSUS. Namun yang menjadi permasalahan adalah, Apakah pembuatan LHP tersebut sudah sesuai dengan prosedur, Kode etik kelayakan, dan tidak melanggar Perundang undangan” jelasnya.

“Kalau dalam pembuatan LHP Inspektorat tersebut ternyata melanggar kode etik dan Perundang-undangan, ranahnya bukan lagi PTUN, tentunya ada yang dirugikan, dan kalau ada yg dirugikan tentu diselesaikan didepan Penyidik untuk maju ke Pengadilan Tinggal pelapor kumpulkan alat bukti untuk pasal mana yg akan di terapkan ke pembuatan LHP tersebut. Dikarenakan dalam asas legalitas, tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu, (nullum delictum nulla poena sine Praevia lege). Kalau penyidik memproses kasus pembuatan LHP tersebut ternyata melanggar undang-undang dan dilimpahkan ke pengadilan, setelah putusan pengadilan dinyatakan orang yang membuat LHP tersebut bersalah, secara otomatis Putusan PTUN gugur, karena LHP yg dibuat adalah dari hasil perbuatan melawan hukum.” Pungkasnya.

Hal senada diungkapkan oleh seorang Auditor yang tidak mau disebut kan namanya, kata Auditor “Apakah dalam pembuatan LHP yang diberikan sebagai fakta di persidangan tersebut sudah seutuhnya atau masih ada yang ketinggalan, atau sudah sempurna, sesuai Kode etik profesional. Kalau sempurna artinya tidak akan masalah, tetapi kalau tidak sempurna, apalagi tidak meminta keterangan kepada orang yg tersangkut didalamnya pasti akan menjadi masalah.” ucapnya.

Lanjut Dia “Pelanggaran etika sanksi nya adalah Direkomendasikan oleh komite kode etik antara lain berupa: teguran tertulis usulan pemberhentian dari tim pengawasan, dan tidak diberi penugasan pengawasan selama jangka waktu tertentu. Pelanggaran terhadap KE- AIPI dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan Perundang-undangan.” ujarnya.