Jakarta – BINTANGJAGATNEWS. Sabtu, 16 November 2024. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kembali mengingatkan pemerintah untuk tidak sekadar memberikan janji dalam mengatasi permasalahan mafia tanah dan sengketa agraria di Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa sekitar 60 persen sengketa pertanahan di tanah air melibatkan petugas internal ATR/BPN.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menegaskan bahwa upaya pemberantasan mafia tanah dan penyelesaian konflik agraria tidak boleh berhenti pada pernyataan semata. “Kami berharap rencana pengentasan mafia tanah yang disampaikan oleh Menteri Nusron Wahid bukan hanya sekadar lip service atau gertak sambal. Pemerintah harus menunjukkan komitmen dengan langkah konkret di lapangan,” kata Dewi dalam keterangan tertulis yang diterima JAGAT BATARA.
KPA Minta Aksi Nyata, Bukan Pemetaan dan Identifikasi
Menurut Dewi Kartika, KPA berharap pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama dari rezim sebelumnya yang gagal menyelesaikan masalah agraria secara tuntas. Pemerintah, menurut Dewi, sudah memiliki data yang cukup untuk melakukan intervensi yang lebih nyata dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. “Pemerintah sudah mengumpulkan banyak data, baik itu yang digalang secara resmi oleh pemerintah maupun yang diusulkan langsung oleh masyarakat. Menteri ATR/BPN seharusnya sudah bisa mengambil langkah nyata di lapangan, bukan hanya melakukan pemetaan atau identifikasi masalah,” ujarnya.
Dewi mengingatkan bahwa pernyataan Nusron Wahid mengenai keterlibatan petugas ATR/BPN dalam konflik agraria bukanlah hal baru. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2023), KPA mencatat terdapat 2.939 kasus konflik agraria yang melibatkan sekitar 6,3 juta hektare lahan dan berdampak terhadap sekitar 1,7 juta rumah tangga petani. Sengketa ini sering kali melibatkan korporasi besar, baik dari sektor perkebunan, kehutanan, maupun tambang yang tumpang tindih dengan hak masyarakat atas lahan mereka.
Akar Masalah: Penerbitan HGU dan Konsesi yang Tidak Transparan
Dewi menyebutkan bahwa akar utama dari konflik-konflik agraria tersebut adalah penerbitan sepihak Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan konsesi-konsesi korporasi yang mencaplok tanah-tanah pertanian dan pemukiman masyarakat. “Proses penerbitan konsesi ini sering kali dilakukan tanpa transparansi, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, dan tanpa memperhatikan hak-hak petani dan masyarakat lokal. Inilah yang menjadi pemicu utama terjadinya konflik agraria di berbagai daerah,” jelas Dewi.
KPA menduga bahwa proses-proses yang tidak transparan ini melibatkan oknum-oknum tertentu di dalam kementerian terkait, khususnya ATR/BPN yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan HGU dan HGB. “Kami melihat bahwa selama pemerintahan Jokowi, penanganan kasus konflik lahan hanya menyasar pada individu-individu tertentu saja, sementara aktor-aktor besar yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi tetap dibiarkan, meskipun mereka menjadi sumber masalah struktural,” tambahnya.
Pengentasan Mafia Tanah Belum Terwujud
Dewi juga mengkritik bahwa meskipun pemerintah mengklaim berusaha mengentaskan mafia tanah, penyelesaian konflik agraria secara struktural masih sangat minim. “Pencapaian yang ada selama ini tidak berkorelasi dengan penyelesaian akar masalah konflik agraria. Konflik yang bersifat struktural dan melibatkan korporasi besar tidak pernah mendapat penanganan yang serius,” ujar Dewi.
Sebagai contoh, sejak 2016, KPA telah mengusulkan lebih dari 1,6 juta hektare lahan sebagai lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang tersebar di 851 lokasi. Namun, hingga akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, hanya 21 lokasi yang berhasil diselesaikan. Itu pun hanya untuk lokasi yang telah berstatus “clean and clear”—artinya tidak ada lagi sengketa pertanahan di daerah tersebut.
KPA Minta Pemerintah Bertindak Tegas terhadap Mafia Tanah
Menanggapi pernyataan Menteri Nusron Wahid yang menyebutkan keterlibatan petugas internal ATR/BPN dalam 60 persen konflik pertanahan, KPA menuntut agar pemerintah tidak hanya berhenti pada gertakan. “Kami menuntut agar pemerintahan saat ini benar-benar serius dalam memberantas mafia tanah. Jangan hanya sebatas membuat pernyataan yang tidak dibarengi dengan tindakan konkret,” ujar Dewi.
KPA mendesak agar pemerintah mengambil langkah tegas terhadap petugas ATR/BPN yang terbukti terlibat dalam praktik mafia tanah, serta melaksanakan reforma agraria yang dapat memberi solusi jangka panjang bagi masyarakat dan petani yang terpinggirkan.
Peran Media dalam Mendorong Transparansi
Dewi Kartika juga menyoroti peran media dalam mengawal dan mengungkapkan berbagai praktik mafia tanah yang terjadi di lapangan. Menurutnya, media harus terus mendorong transparansi dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan hak mereka. “Peran media sangat penting dalam memastikan bahwa upaya pemberantasan mafia tanah tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga terwujud dalam kebijakan yang berpihak pada masyarakat,” ungkap Dewi.
Dengan adanya tuntutan dari KPA ini, pemerintah diharapkan dapat memperlihatkan keseriusannya dalam menangani masalah agraria yang sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak pihak. Jika tidak, maka janji-janji pemberantasan mafia tanah hanya akan menjadi omong kosong yang tidak ada dampaknya bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh konflik pertanahan.
Akhirnya, KPA dan berbagai organisasi masyarakat lainnya berharap bahwa pemerintah, di bawah kepemimpinan Menteri Nusron Wahid, dapat mengatasi masalah ini dengan langkah nyata, bukan hanya sekadar kata-kata tanpa tindakan yang jelas. (Red)